|
Kunang-kunang |
"Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch
dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar
jendela." Kutipan ini berasal dari cerita pendek Umar Kayam,
Seribu Kunang-kunang di Manhattan
(silahkan baca dahulu sebelum melanjutkan membaca tayangan ini). Saya
belum membaca cerita pendek ini, ketika dahulu, di masa kanak-kanak,
menyaksikan bukan hanya seribu, melainkan beribu-ribu kunang-kunang di
kampung saya. Kini, jangankan seribu, mencari beberapa ekor saja mungkin
sudah tidak lagi mudah. Anak-anak kecil di kampung saya mungkin juga
tidak lagi suka bermain dengan kunang-kunang, atau bahkan mungkin tidak
lagi pernah tahu apa sebenarnya itu kunang-kunang. Atau mungkin, apakah
mereka masih perlu bermain dengan kunang-kunang, memasukkannya ke dalam
kapas dan membiarkannya berkelap-kelip di ruang gelap? Pada saat ini
kunang-kunang dari Manhattan telah lama menerangi rumah-rumah kampung,
lorong-lorong kampung. "Lampu-lampu yang berkelipan di belantara
pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada
ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya
di desa."
|
Kunang-kunang
beterbangan sambil berkelap-kelip di sawah mbahnya Marno di desa
menjelang petang, disaksikan oleh istri dan anak-anaknya, sementara ia
sendiri menyaksikan kunang-kunang Manhattan berdua dengan Jane. |
Kunang-kunang terdiri atas
banyak jenis,
bahkan sekitar dua ribuan jenis, semuanya tergolong serangga
famili Lampyridae, ordo Coleoptera (kumbang). Dalam bahasa Inggris,
kunang-kunang disebut
fireflies (padahal bukan lalat) atau
lightning bugs
(padahal bukan kepik) karena bagian ujung perutnya dapat mengeluarkan
cahaya berkelap-kelip, seakan-akan ada saklar, bisa kuning, hijau, atau
merah pucat, dengan panjang gelombang 510-670 nanometer. Kunang-kunang
dipilahkan ke dalam sub-famili
Cyphonocerinae,
Lampyrinae,
Luciolinae,
Ototetrinae (bermasalah),
Photurinae, dan genus yang belum dapat dipastikan posisinya,
Oculogryphus dan
Pterotus.
Saya tidak tahu jenis mana yang dahulu sering saya saksikan di kampung,
tetapi yang manapun itu, jenis itu tidak lagi berkelap-kelip kini. Saya
tidak tahu mengapa kunang-kunang tidak lagi betah berada di kampung
saya. Menurut situs
Firefly, "
Nobody knows for sure. But most researchers blame two main factors: development and light pollution."
Pembangunan dan polusi cahaya, katanya, adalah penyebabnya. Dan memang
benar, pembangunan dan cahaya telah lama menjadi bagian tidak
terpisahkan dari denyut nadi kampung saya, Banjar/Dusun Bungbungan, Desa
Yehembang, Kabupaten Jembrana, Bali. Dan itu tidak hanya menghilangkan
kunang-kunang, tetapi juga banyak yang lainnya, sehingga kini hanya
menjadi kenangan indah masa kanak-kanak bagi saya.
|
Lutung jawa |
Pada masa kanak-kanak, saya sering mendapat cerita
mengenai lutung jawa, dalam bahasa Bali disebut 'ijah'. Menurut ibu
saya, lutung mempunyai wajah mirip wajah manusia, dan hanya makan daun,
itupun setelah mereka pilih terlebih dahulu. Tapi saya tidak pernah
melihat lutung, sampai kemudian saya mengikuti seorang tentara yang
pergi menembaknya di hutan sebelah utara kampung. Saya pun melihat wajah
seekor lutung, mengerang meneteskan air mata setelah tubuhnya tertembus
peluru. Itulah pertama dan terakhir kali saya melihat seekor lutung
yang pernah ada di kampung saya, lutung jawa
Trachypithecus auratus É. Geoffroy, 1812, yang dalam bahasa Inggris disebut
javan lutung, ebony lutung, atau javan langur.
|
Monyet ekor panjang |
Nama epitet auratus berarti keemasan, tetapi warna
keemasan merupakan warna varian, sedangkan warna lutung jawa yang umum
adalah hitam. Yang sering saya lihat adalah monyet ekor panjang,
Macaca fascicularis Raffles, 1821, yang dalam bahasa Inggris bernama
crab-eating macaque
atau long-tailed macaque dan dalam bahasa Bali disebut 'bojog'. Saya
benci monyet ini karena sering merusakkan tanaman dan kalau dihalau
malah balik mengejar. Dahulu monyet ini sangat banyak, hidup dalam
kelompok besar, bahkan bukan hanya di kampung saya, tapi di kampung
sebelah Selatan, dekat sebelah pura yang ada pohon gebangnya (sehingga
dahulu disebut Pura Gebang). Kini, monyet ekor panjang pun sudah jarang
dapat ditemukan. Orang-orang di kampung saya kini mengajak anak-anak
mereka melihat monyet ekor panjang di
Sangeh atau di
Alas Kedaton.
|
Kalong |
Sering pula dahulu saya menyaksikan kalong, dalam
bahasa kampung saya disebut 'bukal', terbang beriringan ke arah Timur
pada petang hari dan kembali ke arah Barat pada dini hari. Bahkan,
ketika pohon dadap berbunga, kalong, yang nama ilmiahnya adalah
Pteropus vampyrus (Linnaeus, 1758) dan dalam bahasa Inggris disebut
large flying fox atau greater flying fox, sering bergelantungan memakan bunga dadap yang banyak mengandung nektar. Dahulu, ketika
kopi robusta (
Coffea canephora Pierre ex A. Froehner) masih dibudidayakan sebagai tanaman utama di kampung saya,
dadap (
Erythrina subumbrans
(Hassk.) Merr.), yang terdiri atas 'dadap lengis' (tidak berduri) dan
'dadap medui' (berduri), merupakan tanaman peneduh. Seiring dengan
digantinya kopi robusta dengan
cengkeh (
Syzygium aromaticum (L.) Merrill & Perry) dan kemudian dengan
kakao (
Theobroma cacao L.),
dadap tidak lagi banyak ditanam, dan kalong pun menghilang. Mungkin
juga bukan hanya karena berkurangnya pohon dadap, tetapi karena
dirambahnya kawasan hutan di batas Utara kampung, yang juga semakin
mempercepat menghilangnya kalong. Kawasan hutan di batas Utara kampung
dibabat ketika Bupati Jembrana, Prof. Gede Winasa, menjelang Pemilukada
periode ke-2, membangun jalan mengitari tepi kawasan hutan. Jalan
tersebut memungkinkan kendaraan bermotor, dari sepeda motor sampai truk,
dapat masuk ke dalam kawasan hutan. Bukan hanya itu, masyarakat
kemudian melakukan pembabatan kawasan hutan untuk dijadikan kawasan
budidaya, dan Bupati Winasa pura-pura tidak tahu menahu. Masyarakat di
kampung saya berterima kasih kepada Winasa dan 100% memilihnya kembali,
menjadi bupati periode ke-2.
|
Kwanitan |
Sebelum membabat kawasan hutan menjadi kawasan
budidaya, beberapa orang di kampung saya sudah biasa mencuri kayu untuk
dijual. Pada awalnya dengan bermodalkan kapak dan gergaji manual, kini
bermodalkan gergaji bermesin. Dahulu, ketika mengajak saya ke hutan
untuk mencari bahan membangun rumah, kakek saya menunjukkan pohon
kwanitan (
Dysoxylum cyrtobotryum Miq.),
majegau (
Dysoxylum densiflorum (Blume) Miq.),
dan udusari. Kini, saya tidak lagi bisa menemukan jenis pohon hutan
tersebut, meinkan jelatang pohon tumbuh di mana-mana. Jangankan lagi
pohon buah-buahan seperti
buni (
Antidesma bunius (L.) Spreng.),
kaliasem (
Syzygium polycephalum (Miq.) Merr. & L.M.Perry),
kapundung (
Baccaurea racemosa (Reinw. ex Bl.) Müll. Arg.), dan
katulampa (
Elaeocarpus glaber
Blume), saya tidak tahu, di sebelah mana saya masih bisa melihat
pohon-pohon tersebut di kampung saya. Saya mengerti bahwa orang-orang di
kampung saya harus berjuang keras untuk hidup, tetapi seharusnya mereka
tidak menghancurkan alam tempat mereka bergantung. Saya ingin ada anak
muda di kampung saya yang mempedulikan alam sekitarnya, tetapi keponakan
saya, yang saya kuliahkan, ternyata lebih memilih bergabung dengan
ormas dan tidak melanjutkan kuliahnya.
Kini bahkan
sungai yang mengalir di bagian Timur dan Barat kampung saya airnya
sangat berkurang. Dahulu itu tidak pernah terjadi, bahkan ketika terjadi
kemarau sangat panjang sekalipun. Ikan-ikannya pun turut menghilang,
sebut saja
sidat air tawar (
Anguilla bicolor bicolor
McClelland, 1844) yang di kampung saya disebut 'be julit'. Tapi warga
kampung saya tidak ada yang peduli, terus saja merambah hutan dan
menebar racun di sungai yang airnya tinggal gemericik saja. Suatu kali,
menurut cerita adik bungsu saya yang tinggal di kampung, orang membakar
pohon beringin terbesar yang terdapat di kawasan hutan batas Utara
kampung. Entah apa yang terjadi, orang yang membakar kemudian jatuh
sakit. Setelah diobati dan sembuh, dilakukan upacara 'nebus' di pohon
beringin besar yang telah menjadi abu. Saya sulit memahami orang-orang
di kampung saya, mereka taat melaksanakan berbagai upacara keagamaan,
tetapi dalam perilaku sehari-hari mereka lebih buruk daripada Marno.
Marno pulang ke apartemennya sendiri setelah ketika berada di
apartemennya Jane, pacarnya di Manhattan, New York, ia teringat istri
dan anak-anaknya, meskipun oleh Jane telah dibelikan piyama untuk
menginap di apartemennya. Orang-orang di kampung saya selalu mengingat
Sang Maha Pencipta, tetapi dalam keseharian, mereka terus saja
berselingkuh, menghancurkan ciptaan-Nya. Mungkin bukan hanya orang di
kampung saya, orang Bali pada umumnya juga demikian. Mereka berteriak
lantang soal ajeg Bali, tetapi terus menjual telajakan tebing sungai
untuk dijadikan lokasi vila oleh para pendatang. Mereka mengucapkan
salam
Om Swastyastu, tetapi setelah itu menebarkan kehancuran terhadap alam semesta (buana agung).
Saya menulis tayangan ini setelah membaca kembali cerita pendek Umar Kayam,
Seribu Kunang-kunang di Manhattan,
untuk kesekian kalinya. Entah mengapa saya ingin membacanya lagi dan
lagi. Kali ini, saya bukannya senang Marno pulang setelah teringat istri
dan anak-anaknya. Saya tahu, besok lusa dia akan kembali menginap di
apartemen Jane; sama dengan orang di kampung saya, kembali merambah
hutan setelah menggelar upacara 'tumpek uduh' untuk menghormati tanaman
dan tumbuhan serta 'tumpek kandang' untuk menghormati ternak dan satwa.
Dan kenyataannya, berbagai jenis tumbuhan dan satwa di kampung saya kini
menghilang begitu saja. "Lalu menghilanglah Marno di balik pintu,
langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga." Lalu,
terbayang oleh saya, orang-orang di kampung seperti Jane. "Di kamarnya,
di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa
bantalnya basah." Entah kapan mereka baru akan menyadari bahwa mereka
tidak hanya hidup sendiri, sebelum semuanya menjadi terlambat, alam yang
mereka hancurkan pada gilirannya akan menghancurkan mereka, suatu hari
kelak.
Ditayangkan terlebih dahulu pada blog
gurukecil
makasih bos infonya dan semoga bermanfaat
BalasHapus