Selamat Datang

Melalui blog Tumbuhan Bali ini saya menayangkan berbagai jenis tumbuhan yang mempunyai arti penting dalam kehidupan orang Bali, terutama jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam upacara agama dan pemanfaatan lain dalam kaitan dengan tradisi masyarakat Bali. Tayangan akan saya fokuskan pada pengenalan ciri-ciri morfologis yang dilengkapi dengan foto untuk memudahkan melakukan pengenalan, terutama bagi Anda yang hanya pernah mendengar nama tetapi belum pernah melihat sendiri bagaimana 'rupa' sesungguhnya dari tumbuhan tersebut. Karena latar belakang saya adalah pertanian maka saya mengalami keterbatasan uraian mengenai pemanfaatan dalam berbagai aspek kehidupan orang Bali, terutama dalam pemanfaatan untuk upacara keagamaan. Untuk melengkapinya, saya akan dengan terbuka menerima masukan dari Anda, terutama dari Anda yang merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu untuk Bali.

Moolatho Brahma Roopaya, Madhyato Vishnu Roopini, Agratas Shiv Roopaya, Vriksha Rajayte Namaha.
Brahma shaped at the root, Vishnu shaped in the middle and Shiva shaped at the top, we salute You, the king of all trees.

Daftar Istilah Morfologi Tumbuhan

Klik huruf awal istilah di bawah ini untuk mencari definisi:
A, B, C, D-E, F-H, I-L, M-O, P, Q-R, S, T-U, V-Z, dari New South Wales Flora Online
A, B, C, D, E, F, G, H, I, J-K, L, M, N, O, P-Q, R, S, T, U, V, W-Z, dari Flora Australia
A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, W, X, Z, dari Angiosperm Phylogeny Website

Minggu, 11 Agustus 2013

Jangan Maturan Buah Sentul: Sebab Lungsurannya Menyebabkan Sakit Perut?

Suatu kali, ketika sedang blog walking, saya menemukan sebuah tulisan yang sangat menarik. Isi tulisan tersebut kurang lebih begini. Seorang pinandita mengatakan, tidak ada salahnya umat membuat sesajen dengan menggunakan buah-buahan impor. Percuma membuat sesajen dari buah-buahan lokal bila 'lungsuran'-nya kemudian dibuang begitu saja karena tidak enak dimakan, begitu kira-kira yang dimaksud. Dicontohkan dalam tulisan itu, penggunaan buah sentul yang, katanya, selain rasanya tidak enak, juga dapat menyebabkan sakit perut. Argumentasinya, sesajen dibuat untuk dinimkati 'lungsuran'-nya, terutama sesajen yang bernama 'bayuan', yang kira-kira berarti untuk menyehatkan badan, bukan untuk membuat sakit perut. Argumentasi lainnya, globalisasi tidak bisa dihindari dengan menolak penggunaan buah-buahan impor, melainkan harus dilawan dengan mengekspor buah-buahan lokal. Sekilas sangat masuk akal, tetapi semakin saya renungkan, ternyata semakin mengusik pikiran saya.

Saya tidak mengerti apa-apa soal banten. Tapi saya memang sering menemukan ironi di seputar banten. Mulai dari soal canang yang tidak lagi dibuat sendiri, melainkan cukup dibeli di pasar. Akibatnya, orang bukan Hindu justeru lebih terampil membuat banten dibandingkan orang Hindu. Pun kelapa tidak lagi ditanam di pekarangan, sehingga setiap kali membuat canang, busung harus dibeli di pasar dari penjual yang berasal dari pulau tetangga. Mungkin ini adalah globalisasi skala kecil, dari globalisasi yang sesungguhnya. Siapa tahu nanti, ayam bakar dalam sesajen diganti dengan ayam bakar yang dibeli di gerai ayam bakar pinggir jalan. Atau bahkan, bukan tidak mungkin pula nanti, kita akan membuat sesajen dengan menggunakan Kentucky Fried Chicken, supaya 'lungsuran'-nya enak dimakan. Toh sekarang orang sudah membuat banten berisi minuman ringan dalam kaleng. Tentu saja supaya 'lungsuran'-nya enak diminum. Soal menyehatkan tentu lain, sebab enak dan sehat tidak selalu sejalan dan seiring. 

Lalu, kalau memang boleh menggunakan buah-buahan impor supaya 'lungsuran'-nya enak dimakan, mengapa kemudian ada jenis-jenis tumbuhan suci? Atau sebaliknya, mengapa ada jenis tumbuhan yang sama-sama kelompok palma nibung (Oncosperma tigillarium (Jack) Ridl.) dan ibus, nama lain gebang (Corypha utan Lamk.) dalam bahasa Batak dan Sasak; daun nibung boleh sedangkan ibus tidak boleh digunakan membuat canang? Saya mencoba mencari jawaban terhadap pertanyaan saya sendiri ini ke sana ke mari. Ketika melakukan penelusuran, saya menemukan halaman wiki Biodiversity of India yang memuat tulisan dalam bentuk tabel mengenai jenis-jenis tumbuhan yang mempunyai arti penting bagi Hindu. Jenis-jenis tumbuhan suci tersebut adalah अम्लिका (amalika, Phyllanthus emblica L.), हरिद्रा (haridraa, Curcuma longa L.), देवदारु (devadaaru, Cedrus deodora (Roxb.) G. Don), तुलसी (tulasii, Ocimum tenuiflorum L.), पद्म (padma, Nelumbo nucifera Gaertn.), मालती atau मल्लिका (maalatii atau mallikaa, Jasminum sambac (L.) Aiton), चन्दन (candana, Santalum album L.), अशोका (ashokaa, Saraca indica), बकुल (bakula, Mimusops elengi L.), dan अतिमुक्त (atimukta, Hiptage benghalensis (L.) Kurz). Kemudian, saya juga menemukan, di negara bagian Kerala, India, dikenal 10 jenis tumbuhan suci yang digolongkan sebagai dasapushpam.

Dengan pernyataan sulinggih sebagaimana pada awal tulisan ini, apakah berarti pula bahwa semua jenis tumbuhan suci di atas dapat diganti dengan jenis tumbuhan apa saja, lebih-lebih yang rasanya enak? Andaikan saja, pada saat kemalaman ketika berburu, Lubdhaka memanjat pohon apel (Malus domestica Borkh.), bukan pohon bila (बिल्व -bilva, Aegle marmelos (L.) Correa) yang rasa buahnya tidak enak. Andaikan saja pula bukan apel Malang, melainkan apel Fuji, apel Gala dan Royal Gala (yang di Indonesia disebut apel New Zealand), atau apel kultivar impor lainnya. Mungkin Lubdhaka bukannya diampuni dosanya, tetapi justeru menerima kutukan, sebagaimana yang dialami Adam dan Hawa. Siapa tahu, buah apel impor itu mengandung residu pestisida, sedangkan buah sentul dan buah-buahan lokal lainnya, karena rasanya tidak enak, tidak disenangi oleh serangga hama, sehingga tidak perlu disemprot dengan pestisida. Pada akhirnya, kalau buah sentul menyebabkan sakit perut maka buah apel impor yang tercemar pestisida justeru menyebabkan sakit-sakitan.Yang jelas, buah sentul akan menyebabkan sakit perut bila kita memakannya dengan rakus, terlalu 'ngulurin indria', seperti makan buah apel impor yang rasanya enak itu.

Globalisasi memang sedang melanda dunia, tentu saja kita tidak dapat menghentikannya. Hanya saja, bukan berarti kita tidak bisa memilih untuk tidak hanyut begitu saja dalam arus globalisasi. Benar bahwa untuk melawannya kita harus mengekspor jenis-jenis hasil tumbuhan lokal. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana kita bisa mengekspor hasil tumbuhan lokal bila mempedulikannya saja tidak? Bagaimana kita bisa mengekspor buah sentul bila belum apa-apa kita sudah menudingnya sebagai buah yang hanya menyebabkan sakit perut? Alih-alih mengekspor buahnya, menanam pohon sentul pun kini tidak lagi. Dan suatu kali, orang Bali tidak lagi tahu bagaimana caranya memakan buah sentul. Atau mungkin tidak lagi bisa membedakan buah sentul dari buah manggis. Sementara, diam-diam, orang asing, sengan alasan penelitian, membawa bibit sentul ke negerinya dan menanamnya di sana. Dan kita pun kemudian beramai-ramai membelinya, setelah sentul berubah status menjadi buah impor dan dijual di pasar swalayan, tidak lagi di pasar tradisional. Suatu kali, dalam perjalanan ke Bali, di bandara saya bertemu dengan sesesorang sedang menenteng bibit mangga australia. Orang itu dengan bangga menceritakan bahwa rasa buah mangga australia jauh lebih enak daripada rasa buah mangga lokal. Saya tercenung, orang itu, seorang dokter spesialis, pasti tidak tahu dari mana asal mangga australia itu.

Globalisasi tidaklah sesederhana glo-BALI-sasi; menjadikan Bali dikenal secara global (atau mencari intri/suami orang Barat, sebagaimana dikatakan oleh tetangga di kampung saya). Globalisasi adalah soal persaingan dengan segala cara, soal hegemoni keadikuasaan Barat atas Timur, soal niat bangsa-bangsa besar untuk menyurutkan dan bila mungkin menghapus budaya bangsa-bangsa kecil. Karena itu, tidak akan cukup dihadapi dengan siasat dagang: impor dibalas dengan ekspor. Apalagi menghadapi dengan hanya mengupayakan mengekspor buah-buahan lokal, hampir tidak mungkin dapat dilakukan. Cara yang dapat kita tempuh adalah menjaga apa-apa yang pernah kita punya supaya jangan sampai kita melupakannya. Di sini, peran para tokoh agama tentu sangat penting. Bukankan agama Hindu bukan bertujuan hanya untuk menyehatkan badan? Bukankah agama Hindu juga bertujuan menyehatkan lingkungan hidup? Apa jadinya lingkungan hidup kita, kalau kita membiarkan saja berbagai jenis tumbuhan lokal dilupakan untuk kemudian secara perlahan musnah atau diambil oleh negara asing.

Lagipula, lungsuran yang menyebabkan sakit perut bukanlah hanya buah-buahan. Suatu kali saya ikut menghadiri upacara 'mayuh otonan' seorang keponakan yang dilaksanakan di sebuah griya. Saya tidak habis mengerti, mengapa daging yang menjadi bagian banten-nya berbau busuk. Bukankah rasa 'lungsuran' daging yang sudah membusuk tersebut pasti tidak enak dan dapat menyebabkan sakit perut bila dimakan? Tidakkah bisa daging untuk banten dipersiapkan menjelang upacara? Atau tidakkah bisa, setelah dimasak disimpan dahulu di dalam kulkas, seperti buah apel impor yang dikapalkan dalam kontainer berpendingin sebelum sampai ke pasar-pasar swalayan. Tidak ada bedanya dengan menyimpan canang sari di kulkas, setelah dibeli di pasar. Siapa pula tahu, suatu saat nanti, kita akan mengimpor canang sari entah dari mana, mungkin dari negeri jiran Malaysia yang begitu bersemangat mengklaim berbagai aspek budaya Indonesia, dengan cara dikapalkan dalam kontainer berpendingain, untuk kemudian dijual di gerai-gerai yang buka 24 jam.

Intinya, saya setuju bahwa sesajen harus dibuat sedemikian agar 'lungsuran'-nya bisa dimakan. Tetapi bukan berarti lebih baik membuat sesajen dengan menggunakan produk impor daripada produk lokal. 'Lungsuran' menjadi tidak enak dimakan atau tidak menyehatkan bukan hanya karena meterinya, tetapi juga karena bagaimana mempersiapkannya. Lagipula, sesajen kita buat seharusnya bukan hanya untuk menyehatkan badan, melainkan untuk menyehatkan Tri Hita Karana. Saya membela buah-buahan lokal bukan pula karena sekedar semangat patriotik, tetapi lebih pada mempertanyakan ironi sebuah persembahan. Manakah yang lebih penting kemudian, menghaturkan banten sebagai wujud persembahan atau mengaharapkan 'lungsuran' enak yang menyehatkan badan? Dan membuang 'lungsuran', kalau memang sudah tidak lagi layak untuk dimakan, sebenarnya tidaklah sia-sia. Di buana agung ini bukan hanya ada kita, tetapi juga ada mahluk hidup lain, dari yang kasat mata seperti anjing, kucing, ayam dsb., sampai jasad renik tidak kasat mata seperti jamur dan bakteri pengurai, yang juga berharap mendapatkan 'lungsuran'.

1 komentar:

  1. Welcome to my website "
    Ingin Dapat Penghasilan Tambahan Yuk Join Di Situs Liga Bintang dan raih kemenangan besar hanya modal ribuan saja,capek kalah mulu main slot tunggu apalagi? yuk main dan dengan 1 ID bisa mainkan semua game dan pastinya aman & Terpecaya,
    Instagram : ligabintang.id


    PROMO Yang berlaku Di WWW.PARLAYBINTANG.ORG :

    - Bonus Deposit Setiap Hari 10%
    - Bonus Cashback Mingguan Di Sportbook 5% - 15%
    - Bonus Cashback Slot MIngguan 5%
    - Bonus Refrensi Mingguan Di Permainan Sportbook 2,5%
    - Bonus Rollingan Mingguan Sportbook Refferal 0,1%
    - Bonus Rollingan Poker 0.2%
    - Diskon Togel :
    ---- Discount 4D : 66.00% ,
    ---- Discount 3D : 59.5.00% ,
    ---- Discount 2D : 29.5.00%
    - Kombinasi = 5%
    - Shio = 12%
    - Colok Angka (1A) = 5%
    - Colok Macau (2A) = 15%
    - Colok Naga (3A) = 15%
    - Colok Jitu = 8%

    Silakan Bossku^^

    Info Untuk Pendaftaran Dan Info Lebih Lanjut
    Silahkan Add WHATSAPP Kami Yah
    WA :+62 821 3257 3276
    WA :+62 813 1172 4975

    BalasHapus